Oleh : Hendro Riyanto
A. Latar belakang
Berbicara pemberdayaan, tentunya dalam pikiran kita terdapat kelompok yang tidak berdaya atau lemah (weak). Ketidakberdayaan itu dapat berwujud lemah dalam keilmuan (manajemen/ analisis), akses, sumberdaya manusia atau sumberdaya alam, atau juga karena kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok yang rentan. Sehingga menjadikan lemah dan tidak berdaya dalam segala hal atas kesenjangan yang terjadi.
Pemberdayaan adalah konsep yang ngetrend dalam kurun waktu lima tahun ini, pemberdayaan adalah turunan dari kata empowerment yang berarti pemberian kesempatan kepada kelompok untuk mendayakan atau memberikan kekuasaan (power). Menurut Totok Mardikanto (2009) pemberdayaan atau empowerment diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) alternative perbaikan kehidupan yang lebih baik.
Memberikan daya pada ekonomi masyarakat berarti terjadi kesenjangan dalam kelompok masyarakat, sehingga masyarakat menjadikan ekonomi sebagai ukuran kelas social. Dalam suatu masyarakat dinamika kelas berdasar atas ukuran ekonomi pasti ada kelas yang paling tinggi, menengah dan rendah. Karena tidak ada unsure pemerataan dalam ekonomi dan tidak ada regulasi yang mengaturnya. Hal itu sejalan dengan model pembangunan yang dipakai Indonesia, dimana pemodal (kekayaan finansial) akan menempati posisi atas dan masyarakat yang tidak punya (miskin) akan berada dibawah.
Kondisi yang demikian itu mempengaruhi struktur organisasi masyarakat, dan akan terjadi perubahan paradigma baru dalam masyarakat. Dimana eksistensi individu masyarakat akan diukur dari kelas ekonomi. Terjadinya perubahan struktur organisasi masyarakat itu akibat pengaruh kapitalisme barat dengan memberikan kesempatan yang luas kepada pasar untuk mengaturnya, atau yang lebih dikenal dengan system pasar bebas. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, dengan harapan dapat membantu perekonomian masyarakat.
B. Pertanyaan
1. Mengapa masyarakat perlu untuk diberdayakan?
2. Model pemberdayaan seperti apa yang efektif untuk mengembangkan ekonomi masyarakat?
3. Bagaimana peran struktur organisasi social dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat?
C. Pembahasan
1. Mengapa masyarakat perlu diberdayakan?
Masyarakat sebagai beneficiaries (penerima manfaat) dalam pembangunan merasa terjadi kesenjangan (gap) antara pusat, wilayah dan daerah, yang dinilai tidak ada pemerataan dan tidak ada keadilan social atas hak-hak yang semestinya diperoleh. Jika ditarik dalam dua ranah sosiologi masyarakat terdapat dua pendekatan (approach) yaitu pedesaan dan perkotaan. Menurut Ferdinan Tonies dalam Abdulsyani (1987) masyarakat desa (gemeinschaft) pada umumnya terdiri dari anggotanya yang homogen dengan berbagai aktivitas dan kebudayaan yang relative sama (homogen). Sedangkan masyarakat perkotaan (gesellschaft) adalah hubungan yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya dalam setiap perjanjian kerjasama dan bersifat beraneka ragam (heterogen).
Kemiskinan dan kesenjangan adalah factor yang menjadi alasan untuk memberdayakan masyarakat. Pembangunan yang tidak merata dapat mengakibatkan kesenjangan dalam masyarakat dan berdampak pada pemiskinan. Sebagaimana program Inpres No. 5 tahun 1993 yang kemudian lebih dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT) menjadi program pembangunan untuk pengentasan kemiskinan (poveerty alleviation).
Dengan melakukan pemberdayaan diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk mampu bertahan (survive) dan mampu untuk mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Keberdayaan tidak hanya ditentukan oleh factor dari luar (ekstrinsik) melainkan factor dari dalam dirinya (intrinsik), sebagaimana keinginan (motiv) untuk dapat bangkit (berdaya) dan bertindak dalam menentukan pilihan hidupnya.
Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk mendukung kesuksesan pembangunan nasional. Tercapainya tujuan pembangunan tidak bisa berjalan secara sepihak (parsial) melaikan bersama dan saling melengkapai. Dalam hubungannnya dengan struktur organisasi yang bawah menjadi pendukung yang atas, pedesan dan perkotaan saling membutuhkan dan saling terkait, kaum pemodal (proletariat) dan pekerja (buruh) sama-sama saling membutuhkan, begitu juga program pemerintah pusat dan daerah juga harus saling menunjang atau terintegrasi dengan baik. Sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan dan struktur organisasi dapat berjalan.
2. Model pemberdayaan seperti apa yang efektif untuk mengembangkan ekonomi masyarakat?
Sebagaimana amanah konstitusi dalam pasal 33, ayat 4, UUD 1945 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasam lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan adanya amanah konstitusi berarti pemberdayaan ekonomi dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu :
a. Penyadaran (awareness)
Penyadaran masyarakat akan dirinya (self community awareness) sangat diperlukan dalam menentukan langkah pemberdayaan terutama dalam ranah ekonomi, sehingga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan (sense of together) atau partisipasi masyarakat dalam merancang dan keterlibatan dalam mengambil keputusan termasuk mengembangkan ekonomi masyarakat.
Pelaku ekonomi dalam masyarakat bukan hanya sebagai objek melainkan partisipan aktif dalam proses pembangunan ekonomi. Pelibatan semacam ini dapat mendorong untuk menggali kebutuhan yang sesuai dengan pembangunan ekonomi masyarakat atau potensi local yang ada. Artinya program pengembangan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh pusat melainkan dari bawah, sehingga tercipta hubungan yang seimbang (balance).
Dengan demikian pada tahap penyadaran ini dapat mencerahkan masyarakat, untuk mampu mendorong dari dalam (intrinsik) dalam membangun ekonomi masyarakat (developing society of economics).
b. Penguatan kapasitas (capacity building)
Setelah masyarakat sadar, maka tahapan yang selanjutnya adalah penguatan kapasitas atau capacity building untuk memampukan (enabling) agar berdaya atau kuasa. Penguatan kapasitas ini bisa secara individu atau kelompok organisasi ekonomi masyarakat.
Pada peningkatan kapasitas secara individual atau kelompok dapat memberikan keahlian atau skill berupa manajemen usaha, pemasaran, efinsiensi pembiayaan, dan networking (bermitra) dalam meningkatkan usaha ekonominya. Peningkatan kapasitas tersebut bisa diberikan melalui pelatihan, workshop, konsultasi atau assistensi secara individual.
Tentunya penguatan ini diberikan kepada masyarakat yang mempunyai usaha ekonomi produktif. Sehingga pelaku usaha dapat memberikan assist dalam meningkatkan produktifitasnya. Kalau masyarakat mempunyai kapasitas terutama sumberdaya manusia maka dapat menentukan langkah selanjutnya dalam mengembangkan ekonomi masyarakat karena kuncinya ada pada resources dirinya.
c. Pendayaan
Pendayaan atau pemberian daya adalah dengan memberikan kesempatan kepada pelaku ekonomi masyarakat sesuai dengan potensinya masing-masing. Sebagaimana ilustrasi berikut, bahwa suatu kelompok ekonomi masyarakat jika perputaran usahanya hanya mampu mencapai Rp. 5 juta, maka tidak bijaksana apabila kita memberikan modal atau pinjaman sebesar Rp. 50 juta.
Pendayaan ini adalah proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kemampauan penerima (beneficiaries). Sehingga pendayaan ini tidak memerlukan waktu yang instant melainkan proses yang cukup panjang.
3. Bagaimana peran struktur organisasi social dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat?
Struktur social dapat terbentuk karena adanya indifidual yang berkumpul dalam suatu wilayah tertentu, yang kemudian disebut struktur organisasi social kemasyarakatan. Struktur social dapat terbentuk juga karena beberapa factor seperti factor kepemilikan lahan, factor ekonomi, factor kependidikan dan factor kekuasaan.
Struktur organisasi social ada yang berbentuk formal dan non formal. Adapun bentuk formal adalah struktur yang diakui oleh lembaga negara seperti perangkat desa (kepala desa/lurah sampai RW/RT), sedangkan struktur non formal lebih diakui karena factor terntu seperti kepemilikan lahan atau kepemilikan kekayaan. Sehingga tercipta struktur baru dalam masyarakat tertentu berdasar atas kekayaan individual.
Dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat tentunya kita akan mengetahui dari key person seperti perangkat desa (Kepala Desa, Kadus, RW/RT) untuk melihat kapasitas individual ekonomi masyarakat secara mendetail. Apakah individual mempunyai kelas ekonomi tinggi, sedang atau rendah.
Jika sudah mengetahui kondisi individual dalam kapasitasnya secara ekonomi, maka dapat ditanyakan kepada tetangganya, apakah individual tersebut berperilaku baik atau menyimpang. Setelah base individual komprehensip maka di lakukan mapping (pemetaan) kelompok masyarakat untuk melakukan pemberdayaan ekonomi sesuai dengan produktifitasnya.
Pengelompokkan tersebut bermaksud memberdayakan atas potensi yang dimiliki, agar pelaku ekonomi dalam masyarakat dapat berkembang (growth) dan mampu membangun usaha ekonomi produktifnya.
Sehingga peran struktur social dapat membantu memberdayakan ekonomi masyarakat, juga struktur organisasi masyarakat dapat meredam atas stratifikasi yang berdasar ekonomi, dimana individu masyarakat yang mempunyai kelas tinggi tidak pasti menjadi panutan, apabila dalam perilakunya tidak mencerminkan sosialnya kepada masyarakat. Dengan demikian struktur organisasi masyarakat ditentukan atas kegiatan social (mobilitas) yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik beberapa benang merah, antara lain :
1. Pemberdayaan masyarakat diperlukan karena kondisi masyarakat yang lemah (weak) dalam segala hal seperti lemah dalam keilmuan, minimnya aksesibilitas, minimnya informasi, sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan motivasi yang tidak stretegis.
2. Dengan pemberdayaan perekonomian masyarakat (empowerment community of economics) diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (poveerty allleviation), juga mendorong masyarakat untuk bangkit dan bersuara dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan ekonomi yang susuai dengan dengan kapasitasnya.
3. Pembangunan ekonomi masyarakat akan menunjukkan keberhasilan, apabila terdapat keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan dan terdapat sinergitas program pemerintah pusat dan daerah dalam mensukseskan pembangunan nasional.
4. Keberhasilan pemberdayaan tidak hanya ditentukan factor dari luar (ekstrinsik) melainkan factor dari dalam (intrinsik) yang berupa motivasi untuk mengembangkan usaha ekonomi produktifnya.
5. Struktur organisasi masyarakat mempunyai peranan penting dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat karena berfungsi sebagai key person. Struktur organisasi masyarakat juga dapat meredam atas stratifikasi social yang berdasar kepemilikan kekayaan, namun lebih ditentukan kegiatan social (mobiltas) dalam bernasyarakat.
E. Daftar pustaka
1. Soetomo, 2009, “Pembangunan Masyarakat, Merangkai Sebuah Kerangka”. PN. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2. Wahyudin Sumpeno, 2009 “Menjadi Fasilitator Genius, Kiat-kiat dalam Mendampingi Masyarakat”, PN. Pustakan Pelajar, Yogyakarta.
3. Randy R. Wrihatnolo, dkk, 2007,”Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat”, PT. Gramedia, Jakarta.
4. Darsono Wisadirana, 2005,”Sosiologi Pedesaan, Kajian Kultural dan Struktural Masyarakat Pedesaan”, PN. UMM Press. Malang.
5. Hendro Puspito OC, 1989 “Sosiologi Sistemik”, PN. Kanisius, Yogyakarta.
6. Abdul Syani, 1987, “Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial”, PN. Fajar Agung, Jakarta.
Selengkapnya...
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Struktur Organisasi Sosial
Fors ANSOS | Rabu, Juli 07, 2010 | Ekonomi, Sosial | 0 komentar
Trafficking dan Kemiskinan
Fors ANSOS | Rabu, Juni 30, 2010 | Ekonomi, Sosial | 0 komentar
"Sebagai single parent Aku berada pada satu pilihan yang sulit, antara kelangsungan hidup keluarga dan masadedan anak ku simata wayang atau kemiskinan sepanjang masa. Mau tidak mau aku harus memilih kelangsungan hidup keluarga dan masa depan anak ku meski aku harus memburu real Arab untuk menjamin kesejahteraan keluargaku. Selama 5 tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga aku mampu menghantarkan anak tunggalku sampai bangku SMP. Tetapi kenyataannya bebanku malah bertambah, akupun harus bertanggung jawab atas kehidupan 2 orang anak yang ku peroleh selama aku bekerja di Arab. Bak makan buah simalakama, ketrampilan yang ku punya hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, pendidikan ku hanya tamatan SD dan aku hanya mampu mengerti sedikit bahasa arab. Aku lebih tak tahan melihat anak-anakku terlantar".
Petikan cerita di atas adalah salah satu realitas yang SPTB temukan selama melakukan penelitian di 11 kecamatan Adipala, Binangun, Kesugihan, Kampung Laut, Patimuan, Gandrung Mangu, Bantarsari, Nusa Wungu, Majenang, Dayehluhur dan Jeruklegi. Pada dasarnya kemiskinan adalah akar persoalan penyebab maraknya trafficking. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan minimal kesejahteraan secara ekonomi mereka. Bermigrasi ke kota besar atau bahkan ke luar negri untuk bekerja menjadi pilihan yang gampang dan sangat realistis untuk dilakukan. Selain untuk kesejahteraan ekonomi tujuan bekerja juga untuk meningkatkan status sosial di masyarakat.
Ironinya trafficing ini juga tumbuh subur karena didukung oleh penyebab-penyebab yang tidak kalah rumitnya. Secara garis besar bahwa persoalan trafficking di sebabkan oleh :
• Kurangnya Kesadaran: Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di kota-kota besar di Indonesia ataupun di luar negeri. Pengetahuan masyarakat mengenai bahaya trafiking masih sangat minim dan sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang HAM sedangkan perlindungan hukum serta sistem kerja yang diterapkan dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan. Bahkan warga tidak bisa membedakan bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau perbudakan.
• Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi. Dengan standar hidup yang lebih tinggi maka masyarakat bisa lebih menghargai. Budaya jawa tentang menghargai seseorang dilihat dari status sosial atau kekayaan yang dimiliki masih sangat kental.
• Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking:
a. Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak perempuan bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
b. Peran Anak dalam Keluarga: kewajiban untuk membantu keluarga. Anak bermigrasi untuk bekerja dan buruh anak sebagai strategi untuk menambah sumber keuangan keluarga yang dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
c. Sebagai single parent: Perempuan yang sudah bercerai bertanggungjawab kepada kehidupan anak-anaknya baik dari segi ekonomi, pendidikan bahkan masa depan anak. Hal ini lah yang menuntut perempuan mencari pekerjaan yang hasilnya lebih besar.
• Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
• Minimnya lapangan pekerjaan : sedikitnya lowongan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran menjadi pemicu terjadinya trafficing. Umumnya di daerah cilacap mayoritas sumber mata pencaharian adalah petani. Sementara warga cilacap dihadapkan pada persaingan kualitas Sumberdaya yang dimiliki.
• Lemahnya Penegakan Hukum: lemahnya penegakan hukum dan lemahnya perlindungan hukum bagi warga indonesia yang bekerja di luar negri. Hal ini di buktikan dengan adanya fakta-fakta kasus-kasus trafficking yang tidak dapat di tuntaskan. Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya upaya negara dalam penanganan dan pengalokasian anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.
Kasus-kasus yang di temukan :
1. Kekerasan fisik.
Kekerasan fisik sering di alami oleh pekerja dengan alasan majikan tidak puas dengan pekerjaan yang di kerjakan oleh pekerja. Kasus penganiayaan yang ditemukan seperti pemukulan, disetelika, didorong sampai jatuh, pemedanaan dan pembuangan di Tanjungpinang. Jam kerja yang melebihi standart, waktu istirahan bagi pekerja maksimal 4 jam perhari. Bahkan ditemukan kasus bahwa pekerja di pekerjakan di 2 jenis pekerjaan dengan upah yang sama.
2. Kekerasan sikologis.
Bentuk kekerasan psikologis yang sering di lakukan majikan kepada pekerja adalah ancaman akan di bunuh apabila pekerja melakukan kesalahan, di maki-maki, di umpat dan ancaman akan di kembalikan ke PTPJTKI. Larangan untuk berkomunikasi dengan keluarga dengan alasan mengganggu efektifitas bekerja. Perpanjangan kontrak sepihak.
3. Pembayaran gaji.
Kasus keterlambatan pembayaran gaji bahkan gaji selama kontrak kerja tidak diberikan kepada pekerja.
4. Pelecehan sexsual.
• Ditemukannya kasus pekerja yang pulang ke daerah dalam keadaan hamil atau membawa anak.
• Ditemukannya kasus praktek nikah siri dan nikah kontrak sampai pekerja memiliki anak dari pernikahan tersebut, sedangkan tanggungjawab pemeliharaan anak menjadi tanggungan pekerja.
• Pekerja di paksa untuk melayani sex kepada majikan atau keluarga majikan yang menghendaki.
5. Pemalsuan dokumen dan penyandraan dokumen.
• Kasus pemalsuan dokumen mulai dari identitas diri (KTP), ijazah, ijin dari orang tua dan suami calon pekerja sampai pemalsuan paspor dan dalam prakteknya melibatkan pemerintah terutama pemerintah daerah lokal.
• Penyandraan dokumen-dokumen pekerja selama masa kontrak kerja.
6. Tidak adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja.
a) Kasus-kasus penganiayaan bahkan sampai korban meninggal tidak pernah di usut. Bahkan pekerja yang hilang tidak pernah dilakukan upaya untuk pengusutannya. Pihak penindak hukum selalu berdalih karena kasus tersebut terjadi di luarnegri. Kebijakan perlindungan ham bagi pekerja di luarnegri belum di mplementasikan secara tegas oleh penindak hukum.
b) Hilangnya kepercayaan dari pekerja dan keluarga terhadap penegak hukum.
7. Pelanggaran hak kebebasan untuk beribadah. Pelarangan untuk beribadah dengan alasan mengurangi evektifitas waktu kerja.
Persoalan trafficking dan kemiskinan baga,i 2 snsnasional trafficking.isi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya membutuhkan penanganan yang serius. Pemerintah telah melakukan upaya untuk penanganan trafficking melalui produk kebijakan, diantaranya :
a. UU PTPO No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah suatu langkah maju dari Pemerintah Indonesia dalam memberantas perdagangan manusia di Indonesia. UU sekaligus merupakan suatu pijakan bagi penegakan hukum yang lebih terarah dan terorganisir dalam mengatasi problem perdagangan manusia dan perlindungan terhadap korban trafiking dan calon buruh migran di Indonesia.
b. UU No.23/2002 Tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merupakan sebuah momentum bagi upaya pemberantasan trafiking. Secara khusus, pasal 83 memberikan sanksi bagi trafiker yaitu, setiap orang yang memperdagangkan , menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 dan paling sedikit Rp 60.000.000,00. Pasal 84 dan pasal 85 juga mengancam pelaku transpalantasi organ dan jual beli organ atau jaringan tubuh anak.
c. UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sebagai salah satu pelaku pembangunan terpenting, tenaga kerja memiliki hak-hak dasar yang pemenuhannya harus dijamin oleh hukum.Undang-Undang ini menjadi kekuatan bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Beberapa pasal di dalamnya mengatur jelas tentang pekerja anak dan perempuan. Pasal-pasal inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum dalam upaya pemberantasan trafiking.
d. UU No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini memberikan penjelasan tentang hak TKI - yang sering diabaikan - dan jaminan hukum atasnya. Tidak hanya itu, Undang-Undang ini juga berisi proses yang seharusnya dilalui TKI sebelum sampai ke negara tujuan yaitu pra penempatan, perekrutan, seleksi, pengurusan dokumen, penempatan hingga purna penempatan. UU ini pun menjadi dasar berdirinya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BNP2TKI.
e. Keputusan Presiden No.87 yang disyahkan pada tahun 2002 tentang rencana aksi Nasional Penghapusan perdagangan Anak dan Perempuan serta dibentuknya Stuan Tugas Nasional untuk menanggulangi kejahatan trafficking.
Persoalanya apakah kebijakan-kebijakan tersebut telah di tegakkan? Terbukti kasus-kasus yang muncul selalu berakhir dengan penerimaan diri sebagai nasip pahit yang harus diterma. Ironisnya kepercayaan masyarakat terhadap penindak hukum semakin luntur. Idealnya semua pihak turut berpartisipasi dalam upaya penanganan trafficking, tanpa terkecuali tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat, tokoh agama, NGO bahkan seluruh lapisan masyarakat sepantasnya memiliki andil dalam upaya penanganan dan pencegahan trafficking. Tapi sesungguhnya negaralah yang seharusnya memiliki peran yang lebih besar terhadap penanganan kasus trafficking. Karena negara berkewajiban untuk mensejahterakan warganya dan negara berkewajiban mengambil tindakan tegas terhadap para trafficer dan pengusutan kasus-kasus pelanggaran ham bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negri.
Alternatif solusi :
• Melakukan pendidikan kepada masyarakat dan lintas stake holder tentang HAM dan trafficking.
• Menumbuhkan kekuatan ekonomi masyarakat dengan cara memaksimalkan potensi sumberdaya.
• Penegakan hukum dan peraturan dengan tegas.
• Pemberian sanksi yang tegas kepada traffiker dan jaringannya.
• Perbaikan infra struktur dan sarana publik sehingga aksesibel bagi masyarakat.
• Meningkatkan kualitas SDM masyarakat melalui pendidikan formal dan non formal.
• Penanganan kasus-kasus trafficking secara tuntas dan di tanggani oleh lintas stakholder yang berwenang.
• Memfasilitasi informasi terkait trafficking kepada seluruh lapisan masyarakat.
Purwanti
Project Directur Liason Office Cilacap
Jl. Dr. Rajiman No. 43 Gunung Simping Cilacap Tengah
Selengkapnya...
Kenapa Harus Poligami?, Kalau Monogomi Lebih Indah !!!
Fors ANSOS | Rabu, Juni 30, 2010 | Sosial | 0 komentar
Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena dipertontonkan secara vulgar oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan. Poligami sesungguhnya merupakan akumulasi dari sedikitnya tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya Undang-undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat yang memandang isteri hanyalah konco wingking, harus ikut apa mau suami dan tidak boleh menolak; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Interpretasi agama yang memposisikan isteri hanya sebagai obyek seksual, tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh.
Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah betul
Islam mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan bagaimana seharusnya kita membaca teks-teks agama yang secara tekstual bicara tentang poligami?
Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami,termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua hal: Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah, sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, "it was too modern to succed" komentarnya.
Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Muhammad Rasulullah pembawa risalah Islam hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani sebelum kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba`da bi`tsah). Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam.
Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.
Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai “amul azmi” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.
Patut direnungkan bahwa perempuan pertama yang dinikahi Rasul setelah Khadijah bernama Saudah bint Zam`ah berumur 65 tahun, sebagian riwayat menyebutkan 72 tahun, dan yang pasti sudah menopause, sedangkan Rasul berusia 54 tahun. Rasul mengawini Saudah demi melindungi perempuan tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Atau mungkin juga sebagai balas budi atas jasa suaminya, Sakran ibn Amar, sahabat yang menyertai Rasul dalam perjalanan hijrah ke Abessinia. Setelah Saudah, Rasul menikahi Aisyah bint Abu Bakar, satu-satunya istri yang perawan dan masih muda, bahkan terlalu muda. Pada masa itu mengawini anak-anak belum dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak anak (child abuse). Selanjutnya, Rasul berturut-turut mengawini Hafsah bint Umar ibn al-Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Juwayriyah bint Haris, Safiyyah bint Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan yang terakhir dengan Maimunah bint Harits terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah. Semua perkawinan Rasul ini berlangsung di Madinah dan terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek, yakni dalam 5 tahun. Jarak antara satu perkawinan dan perkawinan lainnya sangat pendek. Rasul wafat pada 632 M. atau tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Menarik bahwa tidak satupun dari para isteri itu yang pernah diceraikan. Memang pernah ada gosip Rasul menceraikan Hafsah, tetapi setelah diklarifikasi oleh Umar ibn Khattab ternyata gosip itu tidak benar.
Rasul memperlakukan para isterinya secara adil dan bijaksana. Jika Rasul akan mengikutkan salah seorang di antara mereka dalam perjalanan maka mereka diundi dengan maksud menghindari kecemburuan dan iri hati di antara mereka. Kendati Rasul telah berupaya melakukan yang terbaik bagi para isterinya, namun kecemburuan, konflik, dan ketidakakuran di antara mereka tetap saja terjadi dan ini diabadikan dalam kitab-kitab sirah Rasul. Sebagian isteri Rasul telah berumur, punya banyak anak, dan janda para sahabat yang gugur dalam membela Islam. Dari kesebelas istrinya itu Rasul tidak dikaruniai anak. Data-data ini cukup menjelaskan bahwa alasan Rasul menikahi perempuan lebih dari satu sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis sebagaimana dituduhkan.
Kesalehan dan kemuliaan akhlak Rasul dalam memilih isteri digambarkan dalam banyak hadis, di antaranya hadis Amrah bint Abdurrahman: "Rasulullah ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar yang sangat terkenal kecantikannya? Rasul menjawab: "Mereka adalah para perempuan yang sangat pencemburu dan tidak akan bersabar dimadu", sementara Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal itu." Jawaban Rasul mempertegas kebenaran bahwa poligami dapat menyakiti hati perempuan. Rasul terlalu mulia untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau diutus demi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang sudah sangat terpuruk. Terbukti Rasul tidak memilih perempuan muda dan cantik sebagaimana lazim dilakukan laki-laki. Tujuan perkawinan Rasul bukan untuk memenuhi hasrat biologisnya, melainkan untuk kepentingan yang lebih mulia, yaitu menjaga keselamatan umat menuju tegaknya masyarakat Madinah yang didambakan.
Sekarang, jika umat Islam ingin mengikuti sunah Rasul dalam perkawinan, pilihan bijak tentulah mengikuti perkawinan monogami Rasul yang penuh kebahagiaan dan berlangsung sekitar 28 tahun, bukan perkawinan dengan banyak isteri yang hanya berlangsung kurang-lebih 6 tahun.
Perlu pula dicatat, meskipun Rasul menikahi lebih dari satu perempuan, namun tetap saja beliau tidak setuju anak perempuannya, Fatimah az-Zahra dimadu. Rasul marah dan mengecam menantunya, Ali ibn Abi Thalib yang berniat poligami. Sejumlah hadis sahih, diantaranya dari al-Miswar ibn Makhramah meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasul berpidato di atas mimbar:
"Sesungguhnya keluarga Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Dengarlah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku baru menikahi anak mereka. Ketahuilah, Fatimah adalah belaian jiwaku. Barangsiapa membahagiakan Fatimah berarti membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku. "
Sejumlah kitab hadis terkenal. seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizi, Musnad Ahmad, dan Sunan Ibnu Majah meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama. Dari perspektif ilmu hadis mengindikasikan hadis itu diriwayatkan secara lafzi. Artinya, sangat terjamin kesahihannya. Hadis itu membuktikan betapa Rasul tidak setuju poligami. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga kali pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat Ali berpoligami. Sejarah pun mencatat, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat. Sebagai Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan terhadap anak perempuan dan penolakannya yang keras terhadap poligami akan diteladani para ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuannya dimadu? Sebab, hanya perkawinan monogami yang menjanjikan terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak bertepi), mu'asyarah bi al-ma'ruf (kesantunan dan kesopanan), sa'adah (kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian).
Hadis tersebut bisa juga mengandung makna betapa beratnya tanggung jawab suami dalam poligami sehingga hanya manusia setingkat Rasul yang mampu melakukannya secara adil sesuai ketentuan syari`ah. Pandangan seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya ketentuan hukum mengenai keharaman poligami dalam Undang-Undang Keluarga di Tunisia. Tunisia merupakan negara kedua di Dunia Islam yang mengharamkan poligami setelah Turki. Tunisia adalah negara Islam yang konstitusinya berbasiskan Syari'at Islam, tetapi mengharamkan poligami dengan alasan poligami yang dipraktekkan umat Islam sekarang bertentangan dengan perilaku Rasul. Poligami umat Islam sudah mencapai tahap crime against humanity (pelanggaran terhadap kemanusiaan) . Undang-undang Keluarga negara Islam lainnya, seperti Mesir, Syria, dan Marokko meskipun tidak seketat Tunisia juga sangat membatasi poligami sebagai bentuk proteksi negara terhadap warganya yang rentan, yakni para anak dan isteri. Sebagian ulama, seperti Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi an-Na'im berpendapat poligami hanya dibolehkan pada masa-masa awal Islam dan dilarang ketika umat Islam sudah menjadi masyarakat yang beradab. Ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang poligami lebih bernuansa pelarangan ketimbang pembolehan.
Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja dalam implementasinya sangat lemah. Inilah masalahnya! !!. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami poligami. Kebanyakan suami poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan mereka melakukannya tanpa izin. Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja dalam implementasinya sangat lemah. Inilah masalahnya! !!. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami poligami. Kebanyakan suami poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan mereka melakukannya tanpa izin isteri sehingga poligaminya dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan resmi. Kebanyakan suami berpoligami bukan karena isterinya tidak punya anak, atau sakit atau tidak melakukan kewajiban, melainkan semata karena tidak mampu mengekang keinginan syahwatnya. Lagi-lagi soal biologis!!! Karena itu, menejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat.
Mengapa semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan dan kepentingan perempuan? Bagaimana jika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya? Bagaimana jika suami cacat atau ditimpa penyakit? Bagaimana jika suami mandul? Apakah Pengadilan Agama juga akan memberi izin kepada istri menikah lagi? Ketentuan tentang poligami dalam UUP jelas menunjukkan posisi inferior dan subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Dan ini sungguh bertentangan dengan esensi Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan.
Alasan pembolehan poligami itu pun menyalahi tuntunan Allah dalam Q.S. an-Nisa, 4:19: "...Dan perlakukanlah isterimu dengan cara-cara sopan lagi santun. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." Pesan moral ayat ini justru meminta suami bersabar atau tabah menghadapi kekurangan isteri karena mungkin itu ada hikmahnya, bukan lalu mencari isteri lain. Sebaliknya, kalau suami punya kekurangan, maka isteri pun harus bisa menerima itu sebagai kenyataan. Dja'far al-Shadiq, ulama besar pada periode awal Islam menjelaskan bahwa dalam perkawinan Islam hanya ada dua pilihan bagi suami: hidup bersama isteri dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan atau berpisah dengan cara yang santun (Q.S. an-Nisa, 4: 21). Tidak ada pilihan ketiga. Bukankah inti dari perkawinan Islam adalah komitmen untuk hidup bersama dalam suka dan duka menuju keridhaan Tuhan. Indah sekali !
Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna: bermakna bagi dirinya sendiri, bagi pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi alam semesta. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan, sekaligus rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta).
Anis.Peserta ANSOS
Selengkapnya...
Jawa Timur Dipenuhi Pengeboran Minyak dan Gas
Fors ANSOS | Jumat, Juni 25, 2010 | Ekonomi, Lingkungan | 0 komentar
Surabaya – Jawa Timur dipenuhi pengeboran minyak dan gas. Saat ini di wilayah Jawa Timur terdapat 30 blok pengeboran minyak dan gas yang terbentang dari Pacitan hingga Madura.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur menyebutkan sebagian besar perusahaan yang melakukan pengeboran di wilayah Jawa Timur berasal dari luar negeri. Antara lain Petrochina, Exxon, dan Petronas.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan, banyaknya blok pengeboran minyak mengancam ekosistem dan mata rantai kehidupan. Apalagi lokasi pengeboran tidak jauh dari permukiman padat penduduk.
Dalam hal pemberian izin pengeboran, seharusnya pemerintah melibatkan pemerintah daerah. Sebab, pemerintah daerah yang memahami kondisi di wilayahnya. “Selama ini keputusan selalu di pemerintah pusat. Sudah seharusnya pemerintah daerah diberikan kesempatan,” kata Bambang Catur di Surabaya, Minggu (20/6).
Walhi juga meminta pemerintah lebih melibatkan masyarakat, terutama yang berdekatan dengan lokasi pengeboran. Terutama sosialisasi serta pemahaman tentang untung rugi pengeboran minyak.
Selain itu, perlu ketegasan pemerintah kepada perusahaan pengeboran agar membenahi lingkungan setelah melakukan pengeboran. Sebab, sedikit sekali perusahaan pengeboran yang memiliki kesadaran untuk memperbaiki lingkungan setelah kontrak berakhir.
Dampak Sosial Eksplorasi Migas Perlu Dikaji
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan Ormas Jombang mulai menyikapi polemik uji seismik di Kabupaten Jombang. Dampak dan manfaat uji seismik serta kemungkinan eksplorasi migas di Kabupaten Jombang menjadi fokus utama perhatian.
Menurut Syadat Mahiri, aktifis Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat (KRJB), masyarakat perlu mengerti dan memahami dampak sosial dan resiko bencana jika dilakukan eksplorasi migas di wilayah Kabupaten Jombang. Karena itu, ia berharap agar wacana tentang dampak sosial dan resiko bencana dari kegiatan eksplorasi migas dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat.
Aan Anshory, Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) mengatakan, persoalan sosial perlu dikaji secara mendalam sehubungan dengan pelaksanaan uji seismik dan kemungkinan eksplorasi migas di wilayah Kabupaten Jombang.
Menurutnya, jika proses uji seismik dan eksplorasi migas menimbulkan konflik sosial di masyarakat, kegiatan tersebut tidak pantas diteruskan. “Kalau nantinya menimbulkan masalah sosial, maka itu harus dihentikan,” ujar Aan. (VHRMedia/E4/Yovinus/ SuaraWarga/Ms/Mtb)
Konflik Dalam Organisasi Dan Kaitannya Dengan Kualitas Pelayanan Publik
Fors ANSOS | Selasa, Juni 22, 2010 | Sosial | 0 komentar
Oleh : Hendro Riyanto *
A. PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and valuessubsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antarindividu maupun antarkelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain : sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson (1997), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
Makalah ini mencoba untuk menganalisis konflik dalam organisasi, yaitu: faktor penyebab timbulnya konflik, keterkaitan konflik dengan kualitas pelayanan, dan model-model pengelolaan konflik. Keseluruhan pembahasan dilakukan secara teoretis dengan menggunakan beberapa referensi yang tersedia. Namun, sebelum ketiga hal tersebut diuraikan, dan untuk menyatukan sudut pandang kita, dalam bagian ini akan disajikan definisi konflik, pandangan terhadap konflik, dan jenis-jenis konflik.
A.1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara penjelasan yang berbeda itu terlihat ada suatu konsensus, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985). A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996).
… disagreement between individuals or groups within the organization stemming from the need to share scarce resources or engage in interdependent work activities, or from differences in status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989) All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki, 1995).
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
Dikarenakan panjangnya artikel ini, artikel "admin" potong. Tetapi, untuk dapat membaca semua artikel ini dengan komplit silahkan download disini
Selengkapnya...
Buruh dan Lingkaran Persoalannya
Fors ANSOS | Kamis, Juni 17, 2010 | Ekonomi | 0 komentar
Oleh : Nophee Yohana
Indonesia adalah negara Asia Tenggara yang paling parah tertimpa Krisis Asia. Dan krisis kemudian memunculkan krisis ekonomi dan politik yang mendasar, dan elemen yang paling terkena imbas adalah buruh. Seluruh bangunan sistem rejim yang telah lama mapan akhirnya melonggar ketika krisis tak kunjung teratasi, yang itu berarti terbukanya kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh.
Tetapi kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kapasitas buruh untuk mempengaruhi kebijakan negara belum siap dan posisi dalam konstelasi kekuatan sosialnya masih lemah. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya Soeharto pada Mei 1998 membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian hambatan hukum yang telah lama ada. Namun, ketika elite baru kembali terbentuk dalam satu format politik demokratis, buruh terorganisirnya tetap saja tidak terlibat meskipun terdapat banyak bermunculan serikat-serikat buruh baru.
Selain itu, meskipun saat ini banyak serikat buruh baru bermunculan, tetapi tidak ada organisasi buruh tingkat nasional yang mampu bernegosiasi dengan kelompok-kelompok borjuasi yang membentuk aliansi-aliansi rakus di partai-partai politik baru.
Gambaran tentang terus melemahnya pengaruh buruh terlihat saat berbagai macam bentuk undang-undang perburuhan tetap berpihak kepada pemilik modal. Ketika organisasi buruh mampu menuntut kenaikan upah minimum – yang terus meningkatkan angka pengangguran dan protes para pengusaha – kenaikan harga yang kian melonjak dan berkurangnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang secara terus-menerus akhirnya melenyapkan nilai riil kenaikan upah tersebut.
Barangkali tidak ada gambaran mengenai lemahnya posisi buruh terorgonisir Indonesia yang lebih jelas daripada ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, juga dari sekelompok pengusaha lokal, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia. Ancaman tersebut membuat takut para pejabat pemerintah dan menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh serta mengontrol serikat buruh.
Berbicara mengenai buruh haruslah diawali dengan logika relasi yang terjadi antara buruh dan majikan. Dalam relasi buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan ekonomi yang selanjutnya memunculkan ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik.
Secara sosiologis buruh bukanlah sebuah kelas yang bebas. Buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, buruh hanya bisa menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi (majikan). Dan selanjutnya, majikanlah yang bebas menentukan syarat-syarat kerja.
Berdasarkan realitas dari hubungan subordinatif tersebut peran negara sangat diperlukan. Kebijakan negara tentang perburuhan harus mengandungi dua kategori prinsipal, yakni menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Hak ekonomi buruh diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh, yakni upah layak, jaminan kesehatan, keamanan, dll. Sementara hak politik diartikan sebagai peraturan-peraturan dalam berserikat, yakni hak untuk berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan, dan hak mogok. Tetapi kenyataannya sampai hari ini negara, lewat UU perburuhannya, yang diharapkan mampu menjadi “kekuatan adil” justru lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Persekutuan erat dan vulgar antara kepentingan negara dan kepentingan pemilik modal ini semakin menuyudutkan posisi buruh.
Pemberian hak-hak ekonomik dan politik terhadap buruh yang parsial tetap masih akan menyisakan persoalan-persoalan bagi buruh. Parsial secara ekonomik berarti hak-hak yang diberikan masih pada level normatif, dan parsial secara politik berarti hak-hak yang diberikan atau yang dicapai masih sebatas kebebasan berserikat. Oleh sebab itu, capaian kualitatif dalam penyelesaian harus diusahakan. Dan penyelesaian ini harus mengandungi visi dan nilai yang besar, yaitu terbangunnya kekeuasaan politik buruh.
Membangun visi dan nilai ideologis yang besar tersebut bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama, program yang jelas, dan metodologi yang tepat. Seperti kemenangan buruh di Rusia tahun 1917, dan kemudian berdiri negara buruh pertama di dunia, melalui tahapan proses yang panjang. Bolshevik sebagai wadah politik buruh saat itu, mendidik aktifis-aktifis buruhnya secara disiplin, militan, dan revolusioner. Ini menunjukkan bahwa perubahan besar yang menyeluruh harus dilakukan di bawah basis material yang matang secara politik, ideologi, dan organisasional.
Untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan pembebasan buruh, para organiser buruh harus mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah dihadapi buruh. Sedangkan factor-faktor subyektif terkait dengan kesiapan untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti apa yang harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas kesadaran politik dan kelasnya. Kesiapan, panggung politik, dan kesadaran kelas merupakan hal yang signifikan dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis partisipatif. Saya sering menyebut ini dengan kata sosialisme.
Di sini saya tidak sedang mengajukan sebuah terminologi baru dalam penyelesaian terhadap penindasan buruh. Ini terminologi lama yang terbelenggu oleh ilusi-ilusi “demokrasi” yang diciptakan oleh kapitalisme. Demokrasi liberal yang cenderung memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak relevan sebagai basis pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan struktural ini. Ketika mekanisme pengelolaan modal masih didominasi oleh kepentingan segelintir orang niscaya buruh tetap akan menjadi bahan mentah untuk dieksploitasi. Oleh sebab itu, lompatan jauh secara politik dan ekonomi merupakan jalan terakhir yang susah untuk ditawar lagi.
Di jalan terakhir ini, dengan hati-hati, saya tidak akan menyampaikan pandangan yang utopis, seperti membangun tatanan masyarakat tanpa kelas yang berujung pada terbebasnya buruh dari segala bentuk penindasan. Tetapi yang realistis untuk saya sampaikan adalah bagaimana membangunan kekuatan politik buruh yang mampu terlibat aktif dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik di negeri ini.
Terakhir, sebuah pertanyaan, mampukah organisasi-organisasi progresif yang berpihak pada nasib buruh terlibat secara kontinyu dan berintegritas dalam perjuangan yang berat ini?
Selengkapnya...
Dana Aspirasi: Anomali Politik
Fors ANSOS | Kamis, Juni 17, 2010 | Politik | 0 komentar
Azyumardi Azra*
Dana aspirasi, istilah baru yang tiba-tiba saja populer; meski mendatangkan banyak pertanyaan dari kalangan publik. Apalagi secara substantif di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Filipina, ”dana aspirasi” itu dikenal dengan istilah pork barrel (gentong babi).
Terlepas dari setuju atau tidak dengan substansinya, dalam konteks Indonesia, istilah itu agaknya bisa diganti dengan cow-barrel (gentong sapi), atau bahkan chicken barrel (gentong ayam), yang mungkin bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia lebih nyaman didengar.
Di luar soal istilah itu, jelas sebagian besar anggota DPR menolak usulan Partai Golkar tersebut. Juga muncul penolakan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Kita tidak tahu apakah penolakan itu genuine atau tidak karena pada dasarnya jika usulan itu diterima DPR dan pemerintah—apakah secara terpaksa atau tidak—jelas sangat menguntungkan bagi setiap dan semua anggota DPR. Karena dana aspirasi itu membuka peluang lebih besar memperkuat posisi mereka vis-a-vis konstituen masing-masing yang bakal menimbulkan berbagai implikasi dan dampak positif ataupun negatif.
Jelas ada segi-segi positif tertentu terkandung dalam usulan dana aspirasi itu—tentu saja jika akhirnya disetujui dan direalisasikan. Khususnya bagi masyarakat konstituen, bisa diduga mereka senang-senang saja menerima berbagai bentuk program yang pendanaannya berasal dari ”dana aspirasi” sejumlah 15 miliar rupiah yang cukup besar bagi setiap anggota DPR.
Anomali baru
Terlepas dari berbagai manfaat yang bakal diperoleh masyarakat konstituen, usulan dana aspirasi yang bisa saja terealisasi dalam bentuk-bentuk lain jelas ia telah menciptakan anomali tambahan dalam kehidupan politik dan kenegaraan kita, yang bukan tidak bisa berlanjut di hari-hari depan. Anomali baru itu terjadi bukan hanya dalam segi hukum, khususnya yang mengatur dana dan anggaran negara, melainkan juga dalam kaitannya dengan fungsi dan kewenangan DPR itu sendiri.
Anomali itu bisa terlihat, dalam kenyataan bahwa usulan itu pertama kali muncul dari Fraksi Partai Golkar, yang agaknya merupakan hasil dari kesepakatan di dalam partai ini. Akan tetapi, jelas pula, usulan itu tidak melalui pembicaraan di antara partai-partai yang terlibat dalam koalisi yang belakangan ini dikenal sebagai Sekretariat Bersama Koalisi dengan Ketua Hariannya Aburizal Bakrie yang notabene Ketua Umum Partai Golkar. Di sini, muncul pertanyaan tentang fungsi Sekretariat Bersama tersebut; apakah dan kenapa masalah sepenting ini tidak dibahas lebih dahulu di dalam koalisi?
Karena kelihatannya tidak dibicarakan lebih dahulu dalam koalisi, tidak mengherankan kalau ketika usulan ini dibuka ke depan publik, partai-partai pendukung koalisi hampir sepenuhnya menentang sehingga ia tidak dibicarakan dalam sidang DPR. Selain itu, kalangan pemerintahan sendiri, masyarakat LSM, pengamat, dan aktivis juga menentang usulan tersebut. Hasilnya, pihak Partai Golkar merasa ditinggal sendirian dan bahkan terpojok sehingga salah seorang Ketua DPP Golkar M Yamin Tawari mengancam, Partai Golkar bakal keluar dari koalisi karena tidak ada dukungan para mitra koalisi terhadap usulan tersebut.
Ancam mengancam dalam dunia politik dalam batas tertentu merupakan hal umum dan biasa saja di Indonesia atau negara mana pun. Namun, ancam mengancam di antara pihak-pihak pendukung koalisi secara terbuka di depan publik merupakan gejala ganjil yang dapat dikatakan merupakan anomali politik.
Terlepas dari itu, ancaman atau boleh jadi lebih merupakan ”gertak sambal” ternyata cukup efektif. Fenomena ini dapat menjadi preseden dalam dinamika politik koalisi dan bahkan politik Indonesia secara keseluruhan. Apalagi tidak lama setelah adanya ancaman Partai Golkar yang kemudian dibuat lebih lunak oleh kalangan Partai Golkar sendiri sebagai ”pendapat pribadi” bukan sebagai pendapat resmi partai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, dana aspirasi bisa direalisasikan. ”Sangat bisa karena anggota DPR, mereka juga dipilih pada tingkat dapil itu mengajukan usulan khusus. Nah, usulan itu masukkan dalam sistem, dalam tatanan, ada musrenbang, ada musyawarah tingkat daerah, ada ini, ada itu. Kita jalankan sesuai undang-undang,” kata Presiden Yudhoyono (10/6/10).
Dengan pernyataan Presiden ini, Partai Golkar kini memenangi pertarungan, tidak hanya dengan mitra-mitra koalisinya, bahkan sekaligus juga dengan para penentang yang masih tersisa, khususnya PDI-P. Hampir bisa dipastikan kekuatan politik terbesar di DPR, khususnya Partai Demokrat, harus melaksanakan persetujuan Ketua Dewan Pembinanya, yang sekaligus juga merupakan Presiden RI.
Dominasi partai besar
Jika dana aspirasi (atau apa pun namanya kemudian) dapat disepakati DPR dan pemerintah, jelas masyarakat konstituen bakal mendapat manfaat tertentu. Meski, masyarakat penerima terbesar adalah di pulau Jawa yang memiliki dapil terbanyak; sementara pulau dan daerah lain yang memiliki dapil lebih sedikit— tetapi dengan wilayah lebih luas—mendapatkan bagian jauh lebih kecil.
Akan tetapi, tidak ragu lagi penerima manfaat terbesar adalah parpol-parpol besar, yang memiliki jumlah anggota terbanyak di DPR. Karena dengan dana aspirasi itu, para anggota DPR dapat menyatakan kepada konstituen masing-masing, mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat dapil dan memenuhi janji-janji mereka pada waktu kampanye pemilu legislatif 2009.
Tidak hanya itu, dana aspirasi membuat lebih mungkin bagi mereka untuk kembali terpilih dalam pemilu legislatif berikutnya. Karena toh sudah ada ”bukti” bahwa mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan dapil masing-masing. Dengan demikian, realisasi dana aspirasi nanti dapat menjadi ”jualan” yang efektif bagi para anggota DPR agar konstituen kembali memilih mereka. Jika dana aspirasi itu terealisasi mulai 2011, berarti selama empat tahun ke depan menjelang pemilu legislatif 2014, para anggota DPR dapat mengikat konstituen masing-masing secara lebih kuat.
Dalam konteks ini, penerima manfaat maksimal dana aspirasi nanti adalah parpol-parpol besar, sementara parpol-parpol kecil hanya mendapat manfaat terbatas. Apalagi parpol-parpol yang tidak memiliki wakil di DPR, yang bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengimbangi dana aspirasi yang dihasilkan para anggota DPR untuk konstituen masing-masing.
Dalam kondisi seperti itu, semakin kecil pula peluang bagi wajah-wajah baru untuk mampu bersaing dan memenangkan diri dalam pemilu legislatif nanti. Dengan demikian, sirkulasi elite politik di lingkungan DPR menjadi lebih terbatas. Akhirnya, kita harus terus hidup bersama para anggota DPR wajah-wajah lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
*Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm
KOMPAS, Kamis 17 Juni 2010
Selengkapnya...