Oleh : Nophee Yohana
Indonesia adalah negara Asia Tenggara yang paling parah tertimpa Krisis Asia. Dan krisis kemudian memunculkan krisis ekonomi dan politik yang mendasar, dan elemen yang paling terkena imbas adalah buruh. Seluruh bangunan sistem rejim yang telah lama mapan akhirnya melonggar ketika krisis tak kunjung teratasi, yang itu berarti terbukanya kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh.
Tetapi kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kapasitas buruh untuk mempengaruhi kebijakan negara belum siap dan posisi dalam konstelasi kekuatan sosialnya masih lemah. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya Soeharto pada Mei 1998 membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian hambatan hukum yang telah lama ada. Namun, ketika elite baru kembali terbentuk dalam satu format politik demokratis, buruh terorganisirnya tetap saja tidak terlibat meskipun terdapat banyak bermunculan serikat-serikat buruh baru.
Selain itu, meskipun saat ini banyak serikat buruh baru bermunculan, tetapi tidak ada organisasi buruh tingkat nasional yang mampu bernegosiasi dengan kelompok-kelompok borjuasi yang membentuk aliansi-aliansi rakus di partai-partai politik baru.
Gambaran tentang terus melemahnya pengaruh buruh terlihat saat berbagai macam bentuk undang-undang perburuhan tetap berpihak kepada pemilik modal. Ketika organisasi buruh mampu menuntut kenaikan upah minimum – yang terus meningkatkan angka pengangguran dan protes para pengusaha – kenaikan harga yang kian melonjak dan berkurangnya subsidi pemerintah atas layanan dasar dan barang-barang secara terus-menerus akhirnya melenyapkan nilai riil kenaikan upah tersebut.
Barangkali tidak ada gambaran mengenai lemahnya posisi buruh terorgonisir Indonesia yang lebih jelas daripada ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, juga dari sekelompok pengusaha lokal, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia. Ancaman tersebut membuat takut para pejabat pemerintah dan menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh serta mengontrol serikat buruh.
Berbicara mengenai buruh haruslah diawali dengan logika relasi yang terjadi antara buruh dan majikan. Dalam relasi buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan ekonomi yang selanjutnya memunculkan ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik.
Secara sosiologis buruh bukanlah sebuah kelas yang bebas. Buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, buruh hanya bisa menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi (majikan). Dan selanjutnya, majikanlah yang bebas menentukan syarat-syarat kerja.
Berdasarkan realitas dari hubungan subordinatif tersebut peran negara sangat diperlukan. Kebijakan negara tentang perburuhan harus mengandungi dua kategori prinsipal, yakni menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Hak ekonomi buruh diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh, yakni upah layak, jaminan kesehatan, keamanan, dll. Sementara hak politik diartikan sebagai peraturan-peraturan dalam berserikat, yakni hak untuk berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan, dan hak mogok. Tetapi kenyataannya sampai hari ini negara, lewat UU perburuhannya, yang diharapkan mampu menjadi “kekuatan adil” justru lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Persekutuan erat dan vulgar antara kepentingan negara dan kepentingan pemilik modal ini semakin menuyudutkan posisi buruh.
Pemberian hak-hak ekonomik dan politik terhadap buruh yang parsial tetap masih akan menyisakan persoalan-persoalan bagi buruh. Parsial secara ekonomik berarti hak-hak yang diberikan masih pada level normatif, dan parsial secara politik berarti hak-hak yang diberikan atau yang dicapai masih sebatas kebebasan berserikat. Oleh sebab itu, capaian kualitatif dalam penyelesaian harus diusahakan. Dan penyelesaian ini harus mengandungi visi dan nilai yang besar, yaitu terbangunnya kekeuasaan politik buruh.
Membangun visi dan nilai ideologis yang besar tersebut bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama, program yang jelas, dan metodologi yang tepat. Seperti kemenangan buruh di Rusia tahun 1917, dan kemudian berdiri negara buruh pertama di dunia, melalui tahapan proses yang panjang. Bolshevik sebagai wadah politik buruh saat itu, mendidik aktifis-aktifis buruhnya secara disiplin, militan, dan revolusioner. Ini menunjukkan bahwa perubahan besar yang menyeluruh harus dilakukan di bawah basis material yang matang secara politik, ideologi, dan organisasional.
Untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan pembebasan buruh, para organiser buruh harus mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah dihadapi buruh. Sedangkan factor-faktor subyektif terkait dengan kesiapan untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti apa yang harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas kesadaran politik dan kelasnya. Kesiapan, panggung politik, dan kesadaran kelas merupakan hal yang signifikan dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis partisipatif. Saya sering menyebut ini dengan kata sosialisme.
Di sini saya tidak sedang mengajukan sebuah terminologi baru dalam penyelesaian terhadap penindasan buruh. Ini terminologi lama yang terbelenggu oleh ilusi-ilusi “demokrasi” yang diciptakan oleh kapitalisme. Demokrasi liberal yang cenderung memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak relevan sebagai basis pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan struktural ini. Ketika mekanisme pengelolaan modal masih didominasi oleh kepentingan segelintir orang niscaya buruh tetap akan menjadi bahan mentah untuk dieksploitasi. Oleh sebab itu, lompatan jauh secara politik dan ekonomi merupakan jalan terakhir yang susah untuk ditawar lagi.
Di jalan terakhir ini, dengan hati-hati, saya tidak akan menyampaikan pandangan yang utopis, seperti membangun tatanan masyarakat tanpa kelas yang berujung pada terbebasnya buruh dari segala bentuk penindasan. Tetapi yang realistis untuk saya sampaikan adalah bagaimana membangunan kekuatan politik buruh yang mampu terlibat aktif dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik di negeri ini.
Terakhir, sebuah pertanyaan, mampukah organisasi-organisasi progresif yang berpihak pada nasib buruh terlibat secara kontinyu dan berintegritas dalam perjuangan yang berat ini?
Buruh dan Lingkaran Persoalannya
Fors ANSOS | Kamis, Juni 17, 2010 | Ekonomi | 0 komentar
blog comments powered by Disqus