Trafficking dan Kemiskinan

"Sebagai single parent Aku berada pada satu pilihan yang sulit, antara kelangsungan hidup keluarga dan masadedan anak ku simata wayang atau kemiskinan sepanjang masa. Mau tidak mau aku harus memilih kelangsungan hidup keluarga dan masa depan anak ku meski aku harus memburu real Arab untuk menjamin kesejahteraan keluargaku. Selama 5 tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga aku mampu menghantarkan anak tunggalku sampai bangku SMP. Tetapi kenyataannya bebanku malah bertambah, akupun harus bertanggung jawab atas kehidupan 2 orang anak yang ku peroleh selama aku bekerja di Arab. Bak makan buah simalakama, ketrampilan yang ku punya hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, pendidikan ku hanya tamatan SD dan aku hanya mampu mengerti sedikit bahasa arab. Aku lebih tak tahan melihat anak-anakku terlantar".

Petikan cerita di atas adalah salah satu realitas yang SPTB temukan selama melakukan penelitian di 11 kecamatan Adipala, Binangun, Kesugihan, Kampung Laut, Patimuan, Gandrung Mangu, Bantarsari, Nusa Wungu, Majenang, Dayehluhur dan Jeruklegi. Pada dasarnya kemiskinan adalah akar persoalan penyebab maraknya trafficking. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan minimal kesejahteraan secara ekonomi mereka. Bermigrasi ke kota besar atau bahkan ke luar negri untuk bekerja menjadi pilihan yang gampang dan sangat realistis untuk dilakukan. Selain untuk kesejahteraan ekonomi tujuan bekerja juga untuk meningkatkan status sosial di masyarakat.

Ironinya trafficing ini juga tumbuh subur karena didukung oleh penyebab-penyebab yang tidak kalah rumitnya. Secara garis besar bahwa persoalan trafficking di sebabkan oleh :

• Kurangnya Kesadaran: Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di kota-kota besar di Indonesia ataupun di luar negeri. Pengetahuan masyarakat mengenai bahaya trafiking masih sangat minim dan sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang HAM sedangkan perlindungan hukum serta sistem kerja yang diterapkan dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan. Bahkan warga tidak bisa membedakan bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau perbudakan.

• Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi. Dengan standar hidup yang lebih tinggi maka masyarakat bisa lebih menghargai. Budaya jawa tentang menghargai seseorang dilihat dari status sosial atau kekayaan yang dimiliki masih sangat kental.

• Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking:
a. Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak perempuan bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.

b. Peran Anak dalam Keluarga: kewajiban untuk membantu keluarga. Anak bermigrasi untuk bekerja dan buruh anak sebagai strategi untuk menambah sumber keuangan keluarga yang dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.

c. Sebagai single parent: Perempuan yang sudah bercerai bertanggungjawab kepada kehidupan anak-anaknya baik dari segi ekonomi, pendidikan bahkan masa depan anak. Hal ini lah yang menuntut perempuan mencari pekerjaan yang hasilnya lebih besar.

• Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

• Minimnya lapangan pekerjaan : sedikitnya lowongan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran menjadi pemicu terjadinya trafficing. Umumnya di daerah cilacap mayoritas sumber mata pencaharian adalah petani. Sementara warga cilacap dihadapkan pada persaingan kualitas Sumberdaya yang dimiliki.

• Lemahnya Penegakan Hukum: lemahnya penegakan hukum dan lemahnya perlindungan hukum bagi warga indonesia yang bekerja di luar negri. Hal ini di buktikan dengan adanya fakta-fakta kasus-kasus trafficking yang tidak dapat di tuntaskan. Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya upaya negara dalam penanganan dan pengalokasian anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.

Kasus-kasus yang di temukan :
1. Kekerasan fisik.
Kekerasan fisik sering di alami oleh pekerja dengan alasan majikan tidak puas dengan pekerjaan yang di kerjakan oleh pekerja. Kasus penganiayaan yang ditemukan seperti pemukulan, disetelika, didorong sampai jatuh, pemedanaan dan pembuangan di Tanjungpinang. Jam kerja yang melebihi standart, waktu istirahan bagi pekerja maksimal 4 jam perhari. Bahkan ditemukan kasus bahwa pekerja di pekerjakan di 2 jenis pekerjaan dengan upah yang sama.

2. Kekerasan sikologis.
Bentuk kekerasan psikologis yang sering di lakukan majikan kepada pekerja adalah ancaman akan di bunuh apabila pekerja melakukan kesalahan, di maki-maki, di umpat dan ancaman akan di kembalikan ke PTPJTKI. Larangan untuk berkomunikasi dengan keluarga dengan alasan mengganggu efektifitas bekerja. Perpanjangan kontrak sepihak.

3. Pembayaran gaji.
Kasus keterlambatan pembayaran gaji bahkan gaji selama kontrak kerja tidak diberikan kepada pekerja.

4. Pelecehan sexsual.
• Ditemukannya kasus pekerja yang pulang ke daerah dalam keadaan hamil atau membawa anak.
• Ditemukannya kasus praktek nikah siri dan nikah kontrak sampai pekerja memiliki anak dari pernikahan tersebut, sedangkan tanggungjawab pemeliharaan anak menjadi tanggungan pekerja.
• Pekerja di paksa untuk melayani sex kepada majikan atau keluarga majikan yang menghendaki.

5. Pemalsuan dokumen dan penyandraan dokumen.
• Kasus pemalsuan dokumen mulai dari identitas diri (KTP), ijazah, ijin dari orang tua dan suami calon pekerja sampai pemalsuan paspor dan dalam prakteknya melibatkan pemerintah terutama pemerintah daerah lokal.
• Penyandraan dokumen-dokumen pekerja selama masa kontrak kerja.

6. Tidak adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja.
a) Kasus-kasus penganiayaan bahkan sampai korban meninggal tidak pernah di usut. Bahkan pekerja yang hilang tidak pernah dilakukan upaya untuk pengusutannya. Pihak penindak hukum selalu berdalih karena kasus tersebut terjadi di luarnegri. Kebijakan perlindungan ham bagi pekerja di luarnegri belum di mplementasikan secara tegas oleh penindak hukum.

b) Hilangnya kepercayaan dari pekerja dan keluarga terhadap penegak hukum.

7. Pelanggaran hak kebebasan untuk beribadah. Pelarangan untuk beribadah dengan alasan mengurangi evektifitas waktu kerja.
Persoalan trafficking dan kemiskinan baga,i 2 snsnasional trafficking.isi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya membutuhkan penanganan yang serius. Pemerintah telah melakukan upaya untuk penanganan trafficking melalui produk kebijakan, diantaranya :
a. UU PTPO No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah suatu langkah maju dari Pemerintah Indonesia dalam memberantas perdagangan manusia di Indonesia. UU sekaligus merupakan suatu pijakan bagi penegakan hukum yang lebih terarah dan terorganisir dalam mengatasi problem perdagangan manusia dan perlindungan terhadap korban trafiking dan calon buruh migran di Indonesia.

b. UU No.23/2002 Tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merupakan sebuah momentum bagi upaya pemberantasan trafiking. Secara khusus, pasal 83 memberikan sanksi bagi trafiker yaitu, setiap orang yang memperdagangkan , menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 dan paling sedikit Rp 60.000.000,00. Pasal 84 dan pasal 85 juga mengancam pelaku transpalantasi organ dan jual beli organ atau jaringan tubuh anak.

c. UU No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sebagai salah satu pelaku pembangunan terpenting, tenaga kerja memiliki hak-hak dasar yang pemenuhannya harus dijamin oleh hukum.Undang-Undang ini menjadi kekuatan bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Beberapa pasal di dalamnya mengatur jelas tentang pekerja anak dan perempuan. Pasal-pasal inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum dalam upaya pemberantasan trafiking.

d. UU No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini memberikan penjelasan tentang hak TKI - yang sering diabaikan - dan jaminan hukum atasnya. Tidak hanya itu, Undang-Undang ini juga berisi proses yang seharusnya dilalui TKI sebelum sampai ke negara tujuan yaitu pra penempatan, perekrutan, seleksi, pengurusan dokumen, penempatan hingga purna penempatan. UU ini pun menjadi dasar berdirinya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BNP2TKI.

e. Keputusan Presiden No.87 yang disyahkan pada tahun 2002 tentang rencana aksi Nasional Penghapusan perdagangan Anak dan Perempuan serta dibentuknya Stuan Tugas Nasional untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

Persoalanya apakah kebijakan-kebijakan tersebut telah di tegakkan? Terbukti kasus-kasus yang muncul selalu berakhir dengan penerimaan diri sebagai nasip pahit yang harus diterma. Ironisnya kepercayaan masyarakat terhadap penindak hukum semakin luntur. Idealnya semua pihak turut berpartisipasi dalam upaya penanganan trafficking, tanpa terkecuali tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat, tokoh agama, NGO bahkan seluruh lapisan masyarakat sepantasnya memiliki andil dalam upaya penanganan dan pencegahan trafficking. Tapi sesungguhnya negaralah yang seharusnya memiliki peran yang lebih besar terhadap penanganan kasus trafficking. Karena negara berkewajiban untuk mensejahterakan warganya dan negara berkewajiban mengambil tindakan tegas terhadap para trafficer dan pengusutan kasus-kasus pelanggaran ham bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negri.

Alternatif solusi :
• Melakukan pendidikan kepada masyarakat dan lintas stake holder tentang HAM dan trafficking.
• Menumbuhkan kekuatan ekonomi masyarakat dengan cara memaksimalkan potensi sumberdaya.
• Penegakan hukum dan peraturan dengan tegas.
• Pemberian sanksi yang tegas kepada traffiker dan jaringannya.
• Perbaikan infra struktur dan sarana publik sehingga aksesibel bagi masyarakat.
• Meningkatkan kualitas SDM masyarakat melalui pendidikan formal dan non formal.
• Penanganan kasus-kasus trafficking secara tuntas dan di tanggani oleh lintas stakholder yang berwenang.
• Memfasilitasi informasi terkait trafficking kepada seluruh lapisan masyarakat.

Purwanti
Project Directur Liason Office Cilacap
Jl. Dr. Rajiman No. 43 Gunung Simping Cilacap Tengah

blog comments powered by Disqus